Kamis, 10 Oktober 2013

makalah surat attaubah ayat 103


A.           TERJEMAH AYAT

 خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
 

Artinya: “ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

B.    ASBABUN NUZUL
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan apa yang dilakukan oleh Abu Lubabah dan segolongan orang-orang lainnya. Mereka merupakan kaum mukminin dan mereka pun mengakui dosa-dosanya. Mereka mengikat diri mereka di tiang-tiang masjid, hal ini mereka lakukan ketika mereka mendengan firman Allah SWT, yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang tidak berangkat berjihad, sedang mereka tidak ikut berangkat. Lalu mereka bersumpah bahwa ikatan mereka itu tidak akan dibuka melainkan oleh Nabi SAW sendiri. Seraya berkata, “ Ya Rasulullah, inilah harta benda kami yang merintangi kami untuk ikut berperang. Ambillah harta itu dan bagi-bagikanlah,serta mohonkanlah ampun untuk kami.”Kemudian setelah ayat ini diturunkan Nabi melepaskan ikatan mereka.  Nabi kemudian mengambil sepertiga harta mereka kemudian menyedekahkannya kemudian mendoakan mereka sebagai tanda bahwa taubat mereka telah diterima.

C.    TAFSIR AYAT
Perintah Allah pada permulaan ayat ini ditunjukan kepada Rasulnya, agar Rasulullah sebagai pemimpin mengambil sebagian dari harta benda mereka sebagai sedekah atau zakat. Ini untuk menjadi bukti kebenaran tobat mereka, karena sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka dari dosa yang timbul karena mangkirnya mereka dari peperangan dan untuk mensucikan diri mereka dari sifat “cinta harta” yang mendorong untuk mangkir dari peperangan itu. Selain itu sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka pula dari semua sifat-sifat jelek yang timbul karena harta benda,seperti kikir, tamak, dan sebagainya. Oleh karena itu, Rasul mengutus para sahabat untuk menarik zakat dari kaum Muslimin.
Di samping itu, dapat dikatan bahwa penunaian zakat berarti membersihkan harta benda yang tinggal, sebab pada harta benda seseorang terdapat hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama islam telah ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain, yang haram untuk di makannya. Akan tetapi, bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka harta tersebut menjadi bersih dari hak orang lain. Orang yang mengeluarkan zakat terbebas dari sifat kikir dan tamak. Menunaikan zakat akan menyebabkan keberkahan pada sisa harta yang  masih tinggal, sehingga ia tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkahan.
Perlu diketahui, walaupun perintah Allah dalam ayat ini pada lahirnya ditujukan kepaa Rasul-Nya, dan turunnya ayat ini berkenaan dengan peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya namun hukumnya juga berlaku terhadap semua pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat muslim, untuk melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini, yaitu untuk memungut zakat tersebut dari orang-orang islam yang wajib berzakat, dan kemudian membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerimanya. Dengan demikian, maka zakat akan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif untuk membina kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya dalam ayat ini allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, dan juga kepada seiap pemimpin dan penguasa dalam masyarakat, agar setelah melakukan pemungutan dan pembagian zakat, mereka berdoa kepada Allah bagi keselamatan dan kebahagiaan pembayar zakat. Doa tersebut akan menenagkan jiwa mereka dan akan menentramkan hati mereka, serta menimbulkan kepercayaan dalam hati mereka bahwa Allah benar-benar telah menerima tobat mereka.

D. KESIMPULAN

Ayat ini merupakan perintah Allah SWT agar setiap orang Islam mengeluarkan zakat kerena dalam zakat itu banyak hikmah baik dzahir dan batin terhadap harta dan diri seseorang Insan.
Zakat secara bahasa berarti berkah, tumbuh, bertambah, suci, baik dan bersih. Sedangkan secara istilah,  zakat adalah bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang wajib dikeluarkan untuk orang-orang yang berhak menerimanya yang sesuai dengan tuntunan syariat.
Diantara hikmah-hikmah yang dapat kita ambil tersebut adalah:
1) Zakat adalah merupakan rukun Islam yang ditunaikan oleh setiap orang Islam.
2) Amil zakat disunatkan supaya mendoakan orang yang menunaikan zakat            sebagaimana sunnah Rasulullah S.A.W.          
3) Zakat dapat membesihkan kekotoran dzahir harta yang dimiliki oleh seseorang Islam.
4) Zakat dapat mensucikan kekotoran batin dalam diri seseorang Islam dari akhlak buruk seperti kikir, takbur dan ria' yang bercampur dengan amal soleh.
5) Zakat ini disamping melambangkan hubungan seseorang muslim dengan Allah dengan melaksanakan perintah-Nya untuk mengeluarkan juga hubungan dengan manusia lain dengan memberikan bantuan harta dan membersihakn diri dari segala penyakit hati sesama manusia.
6) Zakat memberikan ketenangan dan kebahagian ke dalam diri dan keluarga mereka yang mengeluarkan zakat.

E. RELEVANSI AYAT DENGAN EKONOMI KONTEMPORER
Kebijakan Belanja Pemerintah
Efesiensi dan efektifitas merupakan landasan pokok dalam kebijakan pengeluaran pemerintah. Dalam ajaran Islam hal tersebut dipandu oleh kaidah-kaidah Syari’iyyah dan penentuan skala prioritas. Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum yang disarikan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam memandu kebijakan belanja pemerintah.
Tujuan pembelanjaan pemerintah dalam Islam adalah sebagai berikut:
  1. Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
  2. Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan
  3. Pengeluaran yang mengarah  pada semakin bertambahnya permintaan efektif
  4. Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi
  5. Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.

Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian sebagai berikut.

  1. Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin
  2. Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tesedia
  3. Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya.


1.     1. Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin
Adapun kaidah Syariah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disebutkan diatas. Secara lebih rinci pembelanjaan negara harus didasarkan pada hal-hal berikut ini.

a)        Bahwa kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan azas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan denga kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabata pemerintah
b)       Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat mubadzir dan kikir disamping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
c)        Kaidah seanjutnya adalah tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup berlandaskan pada nas-nas yang shahih seperti pada kasusu “Al Hima”, yaitu tanah yang di blokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukkan bagi kepentingan umum. Ketika Rasulullah engkhususkan tanah untuk penggembalaan ternak kaum dhuafa, Rasulullah melarang ternak-ternak milik para Ahgniya atau orang kaya untuk menggembala disana. Bahakan Umar berkata hati-hati jangan sampai ternak Abdurrahman Bin Auf mendekati laha penggembalaan kaum dhuafa.
d)       Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram.
e)        Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, di mulai dari yang wajib, sunnah dan mubah atau dhoruroh, hajiyyat, dan kamaliyyah.

2.     2. Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tesedia
Sedangkan belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia, mencakup pengadaan infrastruktur air, listrik kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Sedangkan kaidahnya adalah adanya pemasukan yang sesuai dengan syariah untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, seperti dari sektor investasi pemerintah atau jizyah atau washiat atau harta warisan yang tidak ada pemiliknya.

3. Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya
Yang ketiga adalah belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya. Bentuk pembelanjaan seperti ini biasanya melalui mekanisme subsidi, baik subsidi langsung seperti pemberian bantuan secara cuma-cuma atau subsidi tidak langsung melalui mekanisme produksi barang-barang yang disubsidi. Subsidi sendiri sesuai dengan konsep syariah yang memihak kepada kaum fuqoro dalam hal kebijakan keuangan yaitu bagaimana meningkatkan taraf hidup mereka. Tapi konsep subsidi harus dibenahi sehingga mekanisme tersebut mencapai tujuannya. Konsep tersebut diantaranya adalah dengan penentuan subsidi itu sendiri, yaitu bagi yang membutuhkan bukan dinikmati oleh orang kaya, atau subsidi dalam bentuk bantuan langsung. Sebagian ulama membolehkan pembiayaan subsidi dari sumber zakat.




 
Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2007. Bandung: DIPONEGORO.
Ibn Katsir. Tafsir Ibnu Katsier. Penterjemah: Salim Bahreisy dan said Bahreisy,1988. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Jalalluddin al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalallain. Terjemah oleh bahrun abu bakar. 1997. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Suprayitno Eko, 2005. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Islam dan Konvensional, Graha Ilmu, Yogyakarta.
http:// Images.pengantarekonomiis.multiply.multiplycontent.com

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar