A.
TERJEMAH AYAT
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
Artinya: “ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
B.
ASBABUN NUZUL
Ayat ini diturunkan
berkenaan dengan apa yang dilakukan oleh Abu Lubabah dan segolongan orang-orang
lainnya. Mereka merupakan kaum mukminin dan mereka pun mengakui dosa-dosanya.
Mereka mengikat diri mereka di tiang-tiang masjid, hal ini mereka lakukan
ketika mereka mendengan firman Allah SWT, yang diturunkan berkenaan dengan
orang-orang yang tidak berangkat berjihad, sedang mereka tidak ikut berangkat.
Lalu mereka bersumpah bahwa ikatan mereka itu tidak akan dibuka melainkan oleh
Nabi SAW sendiri. Seraya berkata, “ Ya Rasulullah, inilah harta benda kami yang
merintangi kami untuk ikut berperang. Ambillah harta itu dan
bagi-bagikanlah,serta mohonkanlah ampun untuk kami.”Kemudian setelah ayat ini
diturunkan Nabi melepaskan ikatan mereka. Nabi kemudian mengambil
sepertiga harta mereka kemudian menyedekahkannya kemudian mendoakan mereka
sebagai tanda bahwa taubat mereka telah diterima.C. TAFSIR AYAT
Perintah Allah pada permulaan ayat ini ditunjukan kepada Rasulnya, agar
Rasulullah sebagai pemimpin mengambil sebagian dari harta benda mereka sebagai
sedekah atau zakat. Ini untuk menjadi bukti kebenaran tobat mereka, karena
sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka dari dosa yang timbul
karena mangkirnya mereka dari peperangan dan untuk mensucikan diri mereka dari
sifat “cinta harta” yang mendorong untuk mangkir dari peperangan itu. Selain
itu sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka pula dari semua
sifat-sifat jelek yang timbul karena harta benda,seperti kikir, tamak, dan
sebagainya. Oleh karena itu, Rasul mengutus para sahabat untuk menarik zakat
dari kaum Muslimin.
Di samping itu, dapat dikatan bahwa penunaian zakat
berarti membersihkan harta benda yang tinggal, sebab pada harta benda seseorang
terdapat hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama islam telah
ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu
belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta
bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain, yang haram untuk di makannya.
Akan tetapi, bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka harta tersebut
menjadi bersih dari hak orang lain. Orang yang mengeluarkan zakat terbebas dari
sifat kikir dan tamak. Menunaikan zakat akan menyebabkan keberkahan pada sisa
harta yang masih tinggal, sehingga ia
tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka
harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkahan.
Perlu diketahui, walaupun perintah Allah dalam ayat
ini pada lahirnya ditujukan kepaa Rasul-Nya, dan turunnya ayat ini berkenaan
dengan peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya namun hukumnya juga berlaku
terhadap semua pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat muslim, untuk
melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini, yaitu untuk memungut zakat
tersebut dari orang-orang islam yang wajib berzakat, dan kemudian
membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerimanya. Dengan demikian, maka
zakat akan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif untuk membina
kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya dalam ayat ini allah memerintahkan kepada
Rasul-Nya, dan juga kepada seiap pemimpin dan penguasa dalam masyarakat, agar
setelah melakukan pemungutan dan pembagian zakat, mereka berdoa kepada Allah
bagi keselamatan dan kebahagiaan pembayar zakat. Doa tersebut akan menenagkan
jiwa mereka dan akan menentramkan hati mereka, serta menimbulkan kepercayaan
dalam hati mereka bahwa Allah benar-benar telah menerima tobat mereka.
D. KESIMPULAN
Ayat ini merupakan perintah Allah SWT agar setiap orang Islam mengeluarkan zakat kerena dalam zakat itu banyak hikmah baik dzahir dan batin terhadap harta dan diri seseorang Insan.
Zakat secara bahasa berarti berkah, tumbuh, bertambah, suci, baik dan bersih. Sedangkan secara istilah, zakat adalah bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang wajib dikeluarkan untuk orang-orang yang berhak menerimanya yang sesuai dengan tuntunan syariat.
Diantara hikmah-hikmah yang dapat kita ambil tersebut adalah:
1) Zakat adalah merupakan rukun Islam yang ditunaikan oleh setiap orang Islam.
2) Amil zakat disunatkan supaya mendoakan orang yang menunaikan zakat sebagaimana sunnah Rasulullah S.A.W.
3) Zakat dapat membesihkan kekotoran dzahir harta yang dimiliki oleh seseorang Islam.
4) Zakat dapat mensucikan kekotoran batin dalam diri seseorang Islam dari akhlak buruk seperti kikir, takbur dan ria' yang bercampur dengan amal soleh.
5) Zakat ini disamping melambangkan hubungan seseorang muslim dengan Allah dengan melaksanakan perintah-Nya untuk mengeluarkan juga hubungan dengan manusia lain dengan memberikan bantuan harta dan membersihakn diri dari segala penyakit hati sesama manusia.
6) Zakat memberikan ketenangan dan kebahagian ke dalam diri dan keluarga mereka yang mengeluarkan zakat.
E. RELEVANSI
AYAT DENGAN EKONOMI KONTEMPORER
Kebijakan Belanja Pemerintah
Efesiensi dan efektifitas merupakan
landasan pokok dalam kebijakan pengeluaran pemerintah. Dalam ajaran Islam hal
tersebut dipandu oleh kaidah-kaidah Syari’iyyah dan penentuan skala prioritas.
Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum yang disarikan dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam memandu kebijakan belanja pemerintah.
Tujuan pembelanjaan pemerintah dalam Islam adalah
sebagai berikut:
- Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
- Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan
- Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif
- Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi
- Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.
Kebijakan belanja umum pemerintah dalam
sistem ekonomi syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian sebagai berikut.
- Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin
- Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tesedia
- Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya.
1. 1.
Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin
Adapun kaidah Syariah yang berkaitan
dengan belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin mengacu pada
kaidah-kaidah yang telah disebutkan diatas. Secara lebih rinci pembelanjaan
negara harus didasarkan pada hal-hal berikut ini.
a)
Bahwa kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan azas maslahat umum,
tidak boleh dikaitkan denga kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat
tertentu, apalagi kemaslahatan pejabata pemerintah
b)
Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan
sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya, dengan sendirinya
jauh dari sifat mubadzir dan kikir disamping alokasinya pada sektor-sektor yang
tidak bertentangan dengan syariah.
c)
Kaidah seanjutnya adalah tidak berpihak pada kelompok kaya dalam
pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin. Kaidah
tersebut cukup berlandaskan pada nas-nas yang shahih seperti pada kasusu “Al
Hima”, yaitu tanah yang di blokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukkan
bagi kepentingan umum. Ketika Rasulullah engkhususkan tanah untuk penggembalaan
ternak kaum dhuafa, Rasulullah melarang ternak-ternak milik para Ahgniya atau
orang kaya untuk menggembala disana. Bahakan Umar berkata hati-hati jangan
sampai ternak Abdurrahman Bin Auf mendekati laha penggembalaan kaum dhuafa.
d)
Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi
belanja negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram.
e)
Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, di mulai
dari yang wajib, sunnah dan mubah atau dhoruroh, hajiyyat, dan kamaliyyah.
2. 2.
Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya
tesedia
Sedangkan belanja umum yang dapat
dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia, mencakup pengadaan
infrastruktur air, listrik kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Sedangkan
kaidahnya adalah adanya pemasukan yang sesuai dengan syariah untuk pemenuhan
kebutuhan tersebut, seperti dari sektor investasi pemerintah atau jizyah atau
washiat atau harta warisan yang tidak ada pemiliknya.
Yang
ketiga adalah belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh
masyarakat berikut sistem pendanaannya. Bentuk pembelanjaan seperti ini
biasanya melalui mekanisme subsidi, baik subsidi langsung seperti pemberian
bantuan secara cuma-cuma atau subsidi tidak langsung melalui mekanisme produksi
barang-barang yang disubsidi. Subsidi sendiri sesuai dengan konsep syariah yang
memihak kepada kaum fuqoro dalam hal kebijakan keuangan yaitu bagaimana
meningkatkan taraf hidup mereka. Tapi konsep subsidi harus dibenahi sehingga
mekanisme tersebut mencapai tujuannya. Konsep tersebut diantaranya adalah
dengan penentuan subsidi itu sendiri, yaitu bagi yang membutuhkan bukan
dinikmati oleh orang kaya, atau subsidi dalam bentuk bantuan langsung. Sebagian
ulama membolehkan pembiayaan subsidi dari sumber zakat.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2007. Bandung: DIPONEGORO.
Ibn Katsir. Tafsir Ibnu Katsier. Penterjemah: Salim Bahreisy dan said Bahreisy,1988. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Jalalluddin al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalallain. Terjemah oleh bahrun abu bakar. 1997. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Suprayitno Eko,
2005. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi
Islam dan Konvensional, Graha Ilmu, Yogyakarta.
http:// Images.pengantarekonomiis.multiply.multiplycontent.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar