PENDAHULUAN
Manusia dilahirkan dengan
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terhitung, berusaha memenuhinya adalah wajar. Semakin baik
kebutuhan-kebutuhan ini dipenuhi semakin baik pulalah dia. Kehidupan yang
dipersiapkan secara baik menjamin kedamaian jiwa, kepuasan dan rasa aman. Dan
kondisi jiwa semacam itulah yang menopang terbinanya suasana yang sehat,
bermoral dan cocok spiritual. Tidak satu kemajuan material dan pembangunan
ekonomi yang dalam dirinya sendiri bertentangan dengan kemajuan moral dan
spiritual. Betapapun juga semua kemajuan semacam itu, bila diperoleh dengan
cara yang baik dan di pertahankan, merupakan sumbangan terhadap moralitas yang
sehat dan spiritualitas yang benar.
Oleh karenanya kami akan membahas adab-adab dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, yaitu hal-hal yang harus diperhatikan dalam
membelanjakan hartanya (konsumsi). Diantaranya adalah konsumsi dalam perspektif
Islam, prinsip-prinsip konsumsi dan sasaran konsumsi.
KONSUMSI
1.
Konsumsi
dalam Islam
Konsumsi pada hakikatnya
adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Konsumsi meliputi
keperluan, kesenangan dan kemewahan. Kesenangan atau keindahan diperbolehkan
asal tidak berlebihan, yaitu tidak melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh
dan tidak pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.
Ajaran Islam sebenarnya
bertujuan untuk mengingatkan umat manusia agar membelanjakan harta sesuai
kemampuannya. Pengeluaran tidak seharusnya melebihi pendapatan dan juga tidak
menekan pengeluaran terlalu rendah sehingga mengarah pada kebakhilan. Manusia
sebaiknya bersifat moderat dalam pengeluaran sehingga tidak mengurangi
sirkulasi kekayaan dan juga tidak melemahkan kekuatan ekonomi masyarakat akibat
pemborosan.[1]
2.
Prinsip
Konsumsi:
a.
Halal
رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ
وَبَيْنَهُمَا مَشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى
الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ
كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ
مَلِكٍ حِمًى أَلاَ إِنَّ حِمَى اللهِ فِى أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي
الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ
فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ.
Artinya:
“Nabi SAW bersabda: “Halal itu jelas,haram juga
jelas,di antara keduanya adalah subhat,tidak banyak manusia yang mengetahui.
Barang siapa menjaga diri dari subhat, maka ia telah bebas untuk agama dan
harga dirinya,barang siapa yang terjerumus dalam subhat maka ia diibaratkan
pengembala disekitar tanah yang di larang yang dihawatirkan terjerumus.
Ingatlah sesungguhnya setiap pemimpin
punya bumi larangan. Larangan Allah adalah hal yang di haramkan oleh
Allah, ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging jika
baik maka baiklah seluruhnya, jika jelek maka jeleklah seluruh tubuhnya,
ingatlah daging itu adalah hati.”[2]
Ibnu
Katsir berkata, Allah menjelaskan tentang tidak ada Tuhan selain Allah yang
Maha Memberi kepada seluruh makhluknya. Dia kemudian memberitahukan akan
izin-Nya terhadap segala sesuatu (sumber daya) yang ada di bumi untuk dimakan
dengan syarat halal, selama tidak membahayakan akal dan badan.[3]
Halal
yang murni, misalnya adalah buah-buahan, binatang sembelihan, minuman sehat,
pakaian dari kapas atau wol, pernikahan yang sah, warisan, rampasan perang dan
hadiah.
Haram
yang murni misalnya bangkai, darah, babi, arak, pakaian sutra bagi kaum lelaki,
pernikahan sesama mahram, riba, hasil rampok dan curian.
Sementara
diantara keduanya adalah syubhat. Syubhat adalah beberapa masalah yang
diperselisihkan hukumnya, seperti daging kuda, keledai, biawak, minuman anggur
yang memabukkan apabila banyak, pakaian kulit binatang buas.[4]
Kewajiban
seorang hamba adalah menjauhi segala bentuk syubhat dan syahwat (keinginan)
yang diharamkan, membersihkan hati dan anggota badannya dari segala hal yang
dapat melenyapkan iman. Hal itu dilakukan dengan memperbaiki hati dan anggota
badannya sehingga akan semakin kuat hatinya.[5]
b.
Baik/Bergizi
رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ
إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ
الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ
وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَا كُمْ ثُمَّ
ذَكَرَالرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى
السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ
وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Artinya:
Nabi SAW
bersabda: “wahai manusia! Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu
kecuali yang baik. Ia memerintahkan pada orang-orang yang beriman apa yang di
perintahkan pada para utusan.”Kemudian baca ayat “Wahai para utusan, makanlah
dari yang baik dan beramAllah yang baik, karena sesungguhnya kami mengetehui
apa yang kalian kerjakan.” Baca ayat lagi “makanlah sesuatu yang baik dari apa
yang kami rezekikan padamu.” Kemudian nabi menuturkan ada seorang laki-laki yang bepergian
jauh,rambutnya acak-acakan dan kotor. Dia menengadahkan kedua tangannya ke atas
seraya berdoa: ‘wahai tuhanku, wahai tuhanku’ sedang yang di makan dan yang di
minum serta yang di pakai adalah berasal dari yang haram, mana mungkin doanya
diterima.”[6]
Gizi
dalam ajaran Islam, bukan sekedar mengharamkan makanan yang berbahaya bagi kesehatan seperti
bangkai, darah dan daging babi. Tetapi lebih dari itu, Islam juga memperhatikan
tentang kualitas bentuk makanan yang dihidangkannya. Islam memberikan motivasi
kepada umat Islam, agar menyediakan menu-menu yang bermanfaat/bergizi, seperti daging
binatang darat dan daging binatang laut serta segala sesuatu yang dihasilkan
bumi seperti biji-bijian, buah-buahan, termasuk juga minum madu dan susu karena
nilai gizi yang tinggi[7]
Maksud
Allah menekankan perintah pentingnya memakan makanan yang bergizi disamping
halal adalah karena untuk kebaikan manusia itu sendiri. Makanan bergizi
merupakan makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk memperoleh
kualitas kesehatan yang baik. Dan kesehatan yang baik berarti sangat berpengaruh terhadap kualitas
akal dan rohaninya. Nabi muhammad saw
bersabda dalam khotbahnya yang artinya “Dan untuk badanmu ada haknya
bagimu”.
Adapun
diantara hak badan itu
adalah :
1)
Mendapatkan
makanan yang bergizi
2)
Mendapatkan
istirahat yang cukup
3)
Mendapatkan
latihan fisik (olah raga) cukup
Untuk
dapat menilai suatu makanan thayyib atau tidak, harus kita ketahui dahulu
komposisinya. Bahan makanan yang thayyib bagi umat islam harus terlebih dahulu
memenuhi syarat halal
untuk seseorang muslim tidal ada makanan haram yang baik atau tayyib. Bahan
makanan yang menurut ilmu pengetahuan tergolong baik, belum tentu termasuk
halal bagi orang muslim, dan juga sebaliknya makanan yang tergolong halal,
belum tentu termasuk baik menurut ilmu pengetahuan, pada kondisi tertentu.
Misalnya, otak hewan ternak adalah halal, tetapi tidak baik untuk dikonsumsi
oleh orang yang menderita penyakit jantung, karena mengandung kolesterol tinggi
yang membahayakan jiwa.
Sedangkan
persyaratan makanan
thayyib, menurut ilmu gizi adalah yang dapat memenuhi fungsi-fungsi sebagai
berikut :
1)
Memenuhi
kepuasan jiwa :
a)
Memberi
rasa kenyang
b)
Memenuhi
kebutuhan naluri dan kepuasan jiwa
c)
Memenuhi
kebutuhan sosial budaya
2)
memenuhi
fungsi fisiologik :
a)
memberi
tenaga
b)
mendukung
pembentukan sel-sel baru untuk pertumbuhan badan
c)
mendukung
pembentukan sel-sel atau bagian-bagian sel untuk menggantikan yang rusak
d)
mengatur
metabolisme zat-zat gizi dan keseimbangan cairan serta asam basa
e)
berfungsi
dalam pertahanan tubuh[8]
c.
Makan dan Minum Secukupnya
رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ
حَسْبُ الْآدِمِّي لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ غَلَبَتْ الْآدَمِيِّ
نَفْسُهُ فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ.
Artinya:
Rasulullah SAW
bersabda:” Anak Adam tidak mengisi penuh suatu wadah yang lebih jelek dari
perut,cukuplah bagi mereka itu beberapa suap makan yang dapat menegakan
punggungnya, apabila kuat keinginannya maka jadikanlah sepertiga untuk makan,
sepertiga untuk minum, sepertiga untuk dirinya atau udara.”[9]
Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya yang seringkali menahan rasa lapar dan dahaga.
Bukan karena mereka tidak mampu untuk mengkonsumsinya, tetapi karena Allah SWT telah menetapkan bahwa jalan ini adalah
jalan yang paling utama untuk ditempuh oleh Rasulullah dan para pengikutnya.
Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Umar r.a. dan Umar Bin Khattab r.a. Padahal
mereka mampu dan memiliki banyak makanan.
Manfaat
tidak makan secara berlebihan terhadap perkembangan dan stabilitas rohani
(hati):
1)
Hati yang
menjadi lunak
2)
Pikiran
menjadi cemerlang
3)
Jiwa
menjadi jernih
4)
Emosi
menjadi rendah[10]
d.
Tidak Mengandung Riba, Tidak Kotor/Najis dan Tidak Menjijikkan
رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَثَمَنِ الدَّمِ وَنَهَى عَنْ
الْوَاشِمَةِ وَالْمَوْشُومَةِ وَآكِلِ الرِّبَا وَمُو كِلِهِ وَلَعَنَ
الْمُصَوِّرُ.
Artinya:
Nabi melarang
hasil usaha dari anjing,darah,pentato dan yang di tato, pemakan dan yang
membayar riba,dan melaknat pembuat gambar.[11]
Orang
yang tidak takut kepada Allah, tentu tak peduli dari mana ia mendapatkan harta
dan bagaimana ia menggunakannya. Mereka tidak peduli meskipun hartanya hasil
dari pencurian, suap, kegiatan ribawi, atau gaji dari pekerjaan haram. Padahal
pada hari kiamat, ia akan ditanya tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan
bagaimana menggunakannya. Di sana ia tentu akan mengalami kerugian dan
kehancuran besar.[12]
Sementara
orang-orang yang masuk dalam kegiatan riba tidak mengetahui bahwa semua pihak
yang berperan dalam kegiatan riba, baik yang secara langsung terjun dalam
kegiatan riba, perantara, atau para pembantu kelancaran kegiatan riba adalah
orang-orang yang dilaknat melalui lisan Nabi Muhammad SAW.
عَنْ جَابِرِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: آكِلَ الرِّبَا وَمُؤَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ
وَشَاهِدَيْهِ. وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.
Artinya:
Dari Jabir r.a. berkata,
“Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulis dan kedua orang
yang menjadi saksi atasnya.” Ia berkata, “mereka itu sama saja”. (HR. Muslim)
Berdasarkan
hadits di atas, maka setiap umat Islam tidak diperkenankan bekerja sebagai
sekretaris, petugas pembukuan, penerima uang nasabah, nasabah, penyetor uang
nasabah, satpam dan pekerjaan lainnya yang mendukung kegiatan riba.
Pengharaman
riba berlaku umum, tidak dikhususkan hanya antara sikaya dan si miskin.
Pengharaman itu berlaku untuk semua orang dan dalam semua keadaan.[13]
e.
Bukan dari Hasil Suap
رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَعَنَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْ تَشِيَ قَالَ يَزِيدُ لَعْنَةُ اللهِ عَلَى
الرَّشِي وَالْمُرْتَشِي.
Artinya:
“ Nabi melaknat penyuap dan yang di suap, yazid menambah;
Allah melaknat penyuap dan yang di suap.”[14]
Hendaklah seorang muslim sangat mewaspadai
terjerumus dalam perangkap suap, hadiah, atau penghormatan melalui jalur kerja.
Orang yang menyuap dan menerima suap itu akan diusir dari rahmat Allah yang luas. Hal itu
disebabkan oleh sejumlah uang yang tidak bernilai. Yakni, demi Allah alangkah
ruginya seperti ini. Sebagian dari sifat amanah adalah hendaknya seorang manusia
tidak memangku jabatan di mana dirinya ditunjuk untuk mendudukinya guna
mendatangkan keuntungan untuk dirinya atau keluarga dekatnya. Sebenarnya kenyang dengan
harta publik adalah suatu dosa dan perbuatan yang tidak halal.[15]
3.
Sasaran Konsumsi
a.
Konsumsi untuk Diri dan Keluarga
رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى
أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
Artinya:
Nabi SAW
bersabda: “ Ketika seorang muslim menafkahkan hartanya untuk keluarganya dengan
tujuan mencari pahala dari Allah maka di hitung sebagai sedekah.”[16]
Syariat Islam telah menggariskan
kewajiban suami menafkahi istrinya. Hal
ini telah disinggung oleh Allah SWT dalam firman-Nya: “Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara makruh. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya (QS. Al-Baqarah: 233).
Rasulullah SAW, kemudian
mempertegas lagi dalam sabdanya: “bagi kamu (para suami) bertanggung jawab
menafkahi para istri-istrimu dan memberikan mereka pakaian secara baik. (HR.
Bukhori)
Dalam hadits lain, beliau
bersabda: “Nafkah yang kamu berikan semata-mata karena Allah, pasti Allah
SWT akan memberikan balasannya, meskipun benda yang engkau berikan kepada
Istrimu sekalipun.” (HR. Buhori dan Muslim).
Diantara syarat memberikan nafkah adalah berlaku adil, seimbang, tidak berlebih-lebihan dan boros selama masih dalam batasan-batasan kemampuan. Anak-anak mereka juga wajib untuk dinafkahi. Anak-anak berhak menerima pendidikan yang layak dan tercukupi semua kebutuhannya. [17]
Diantara syarat memberikan nafkah adalah berlaku adil, seimbang, tidak berlebih-lebihan dan boros selama masih dalam batasan-batasan kemampuan. Anak-anak mereka juga wajib untuk dinafkahi. Anak-anak berhak menerima pendidikan yang layak dan tercukupi semua kebutuhannya. [17]
b.
Konsumsi sebagai Tanggung Jawab Sosial
Banyak
orang menyangka cara untuk mendapatkan kehidupan yang baik adalah dengan
mengumpulkan harta digunakan untuk membeli kebahagiaan. Mereka menghabiskan umur mereka
untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Mereka sengsara karena
mengumpulkan dan menjadi rakus terhadapnya. Mereka tidak memberi hak Allah
sehingga di akhirat pun mereka diadzab karenanya.[18]
Al-A’lamah
As-Sa’id menulis, ada dua golongan manusia yang termasuk dalam sebaik-baiknya
makhluk. Pertama, manusia yang baik dan kebaikannya dirasakan oleh orang lain.
Dia bermanfaat untuk dirinya sendiri dan manfaatnya juga bagi orang lain. Dia
diberkahi di manapun dia berada. Ini adalah golongan yang terbaik. Kedua,
manusia yang baik dalam dirinya dan dia melakukan banyak kebaikan, kebaikan
yang ada pada mereka tergantung pada apa yang mereka miliki, yakni, iman yang
berhenti pada diri mereka sendiri dan iman yang bermanfaat bagi orang lain.[19] Hal itu
dapat dilakukan salah satunya dengan cara sedekah. Rasulullah SAW juga pernah
bersabda, “Jauhilah neraka walaupun dengan bersedekah setengah buah kurma.”(HR.
Bukhori)[20]
Sedekah
merupakan amalan yang paling agung dan suci serta amat banyak manfaatnya bagi yang
bersedekah dan juga bagi mayoritas anggota masyarakat, yayasan sosial, dakwah
secara merata.
Tingginya
kedudukan orang yang mengerjakan sedekah tidak hanya di akhirat semata, melainkan juga berlaku di
dunia. Maka barang siapa yang bersedekah akan terangkat dan bagi yang bakhil
akan terhina. Bahkan Muhammad bin Hayyan berkata: “setiap pemimpin baik dalam
masa jahiliyah maupun Islam hingga tersohor kepemimpinannya, kaumnya
melindunginya dan dituju oleh yang jauh maupun yang dekat, maka kepemimpinannya
itu belumlah sempurna, dengan memberikan makanan dan makanan dan menghormati
tamu.[21]
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat kami sampaikan adalah sebagai
berikut:
Dalam
ajaran Islam, konsumsi yang diperbolehkan adalah konsumsi yang sesuai dengan
prinsip-prinsip konsumsi. Prinsip konsumsi yang pertama yaitu, barang yang
dikonsumsi adalah barang yang halal dan akan lebih baik jika menjauhi syubhat
pula. Kedua, makanan tersebut adalah makanan yang bergizi, sehingga dapat
memberikan pengaruh baik bagi kesehatan manusia. Ketiga, makan dan minum
secukupnya, karena makan makanan yang berlebihan akan menjadikan kesehatan
manusia menurun. Keempat, tidak mengandung riba, tidak kotor, dan tidak
menjijikkan. Kelima, bukan dari hasil suap, karena suap merupakan hal yang
diharamkan oleh Allah, sehingga segala sesuatu yang dihasilkan darinya akan
menjadi haram pula.
Sasaran
konsumsi yang paling utama adalah konsumsi untuk diri dan keluarga. Namun,
lebih dari itu Islam juga mengajarkan untuk menafkahkan harta di jalan Allah,
seperti untuk orang-orang yang membutuhkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Asyar, Thobieb. 2003. Bahaya
Makanan Haram. Jakarta: Al-Mawardi Prima.
Al Qilmani, Abu Dzar. 2004. Kunci Mencari Rejeki
yang Halal. Jakarta:
Mizan.
Al-Ba’dani, Faisal bin Ali 2006. 1001 Manfaat Nyata Sedekah. Jakarta: Gramedia.
Al-Munajjid, Syaikh Muhammad
Shalih. 2003.Dosa-dosa yang Dianggap Biasa. Jakarta: Darul Haq.
BMH News. Ada Ketaqwaan Ada Kedermawanan.
Edisi: September 2010.
Diana, Ilfi Nur. 2008. Hadis-hadis Ekonomi Malang: UIN Malang Press.
Fuad, Ahmad.
2008. Pohon Iman. Solo: Pustaka Arafah.
Ibrahim bin fathl bin abd
al-Muqtadir. 2003. Uang Haram. Jakarta: Sinar grafika Offset.
Samahudi. 2005. Nilai
Kesehatan dalam Syariat Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Syahatah, Husain. 2005. Tanggung Jawab Suami
dalam Rumah Tangga. Jakarta: Media Grafika.
[3]
Abu Dzar Al Qilmani, Kunci Mencari Rejeki yang Halal (Jakarta: Mizan,
2004) h. 139.
[4]
Abu Dzar Al Qilmani, Kunci Mencari Rejeki yang Halal (Jakarta: Mizan,
2004) h. 217.
[5]
Ahmad Fuad, Pohon Iman, (Solo: Pustaka Arafah, 2008) h. 77.
[8]
Thobieb Al Asyar, Bahaya Makanan Haram, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,
2003) h. 161-163
[10] Abu Dzar Al Qilmani, Kunci Mencari Rejeki yang Halal (Jakarta:
Mizan, 2004) h. 159.
[12] Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Dosa-dosa yang Dianggap
Biasa (Jakarta: Darul Haq, 2003) h. 102.
[13] Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Dosa-dosa yang Dianggap
Biasa (Jakarta: Darul Haq, 2003) h. 71-73.
[17] Dr. Husain Syahatah, Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga, (Jakarta:
Media Grafika, 2005) h. 16
[18] Ahmad Fuad, Pohon Iman, (Solo: Pustaka Arafah, 2008) h. 118.
[19] Ahmad Fuad, Pohon Iman, (Solo: Pustaka Arafah, 2008) h.
148-149.
[20] BMH News, Ada Ketaqwaan Ada Kedermawanan (edisi September 2010) h.
7.
[21] Faisal bin Ali Al-Ba’dani, 1001 Manfaat Nyata Sedekah, (Jakarta:
Gramedia, 2006)
h. 16-17.
h. 16-17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar